Kamis, 08 Mei 2008

Festival Mei bersama Kubugil


kubugil
http://pentasjakarta.blogspot.com/2008/05/festival-mei.html


Kepada
PARA SAHABAT PECINTA DAN PERESENSI BUKU
se- N.U.S.A.N.T.A.R.A.

Salam buku!

Weblog atau blog adalah sebuah tren termutakhir dari sebuah abad yang berlari yang dijinjing internet. Istilah ini mulai diperkenalkan sejak 1997 yang merujuk pada kumpulan website pribadi yang diperbarui terus-menerus, berisi link ke website lain dan disertai komentar. Di dalamnya para pembuat blog atau blogger menampilkan foto dan tulisan mengenai berbagai topik. Blog adalah juga website. Jika website hanya sekumpulan arsip dan data, maka blog adalah fenomena termutakhir dari web.

Blog buku merupakan bagian dari generasi blog yang ingin merayakan sebuah buana yang bisa dilihat secara bebas dan personal. Mereka adalah generasi peresensi baru buku dengan menggunakan medium yang lebih egaliter. Jika generasi peresensi lama masih memperebutkan halaman-halaman koran nasional dan daerah dengan mempertimbangkan selera redaktur buku, maka generasi baru ini membaca buku dan menuliskannya kembali dengan semangat sangat personal tanpa jerih tulisannya ditampik.

Terkait dengan itu, maka Persekutuan Kutu Buku Gila (Ku-Bu-Gil—http://kubugil.multiply.com) bekerja sama dengan Indonesia Buku dan penyelenggara “Festival Mei Veteran” menggelar perhelatan Temu Blogger Buku se-Indonesia dengan tajuk: “Menjadi Kutubuku Itu Keren”. Acara tersebut digelar pada:

Hari/Tanggal : Sabtu, 17 Mei 2008
Pukul : 11 – 14 WIB
Tempat : Mata Hari Domus Bataviasche Nouvelles Café
Jl Veteran I / 30-33 Jakarta Pusat, telp 021-3840127,
e-mail: indonesiabuku@gmail.com
(sebelah barat Masjid Istiqlal atau utara Monas atau
bersebalahan dengan Markas Besar AD)
Pembicara : Taufik Rahzen (budayawan dan kolektor buku)
Hetih Rusli (editor Gramedia Pustaka Utama)
H Tanzil (moderator milis resensibuku dan pasarbuku)

Kami mengundang Anda sekalian hadir dalam perhelatan itu. Acara ini terbuka untuk publik yang mencintai buku sepenuh-penuh hikmat dan para blogger buku. Dan tentu saja GRATIS. Demikian undangan ini, terimakasih atas perhatiannya.

Salam buku!

Jakarta, 10 Mei 2008


PANITIA PELAKSANA
Hernadi Tanzil (http://bukuygkubaca.blogspot.com), Endah Sulwesi (http://perca.blogdrive.com), M Baihaqi (http://qyu.blogspot.com), Muhidin M Dahlan (http://akubuku.blogspot.com), Ferina Permatasari (http://lemari-buku-ku.blogspot.com), Indah Nurchaidah, Berliani M Nugrahani, Maria Masniari Lubis, Jody Pojoh (http://jodypojoh.blogdrive.com), Dumaria Pohan (http://mon-secret-jardin.blogspot.com), Herlina Sitorus, Yulianto, Alfi Yasmina (http://bookquickies.wordpress.com)

* 50 peserta yang datang pertama akan mendapatkan buntelan gratis dari beberapa penerbit pendukung acara.

** Akan diadakan pemutaran film tentang buku nonstop: (1) Finding Forrester (2000); (2) You've Got Mail (1998); (3) Quills (2000); (4) Freedom Writers (2007); (5) Il Postino, The Postman (1994); (6) Notting Hill (1999); (7) The Disapperance of Garcia Lorca (1997);

** No Kontak panitia dari beberapa kota: Ria/Veteran Jakarta (081328690269); Gus Muh/Jogja (08886854721); Perca/Jakarta (081586189316); Antie/Bandung (08156075171); Jody/Menado (081356045047); Kobo/Medan (08126044109)

ACARA INI DIDUKUNG OLEH:
1. Koran Kebudayaan Bataviasche Nouvelles (Jakarta)
2. Mata Hari Café (Jakarta)
3. Indonesia Buku (Jakarta)
4. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta)
5. Serambi (Jakarta)
6. Bentang Pustaka (Yogyakarta)
7. Hikmah (Jakarta)
8. Mizan (Bandung)
9. Klub Sastra Bentang

Eleven Minutes, sebelas menit untuk cinta


Eleven Minutes
Paulo Coelho

alih bahasa: Tanti Lesmana dan Arif Subiyanto
Sampul: Satya Utama Jadi
Edisi Indonesia diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utamma
Desember, 2007


Sebelas menit untuk menikmati indahnya persetubuhan...
Hanya sebelas menit yang dibutuhkan dua jenis kelamin manusia untuk mendapat kepuasan badaniah...
Selebihnya hanya usaha manusia untuk memperpanjang kenikmatan yang sering dianggap tabu untuk diperbincangkan itu.

Eleven Minutes adalah karya ke-18 Pengarang Brazil ( seharusnya ditulis Brasil menurut Maria, tokoh di novel ini) terkenal Paulo Coelho, diterbitkan pertama kali di tahun 2003. Bercerita tentang perjalanan hidup seorang pelacur bernama Maria. Walaupun dikatakan sebagai cerita perjalanan hidup akan tetapi rentang waktu yang dijabarkan kedalam novel ini hanyalah sekitar 1 tahun ditambah dengan sedikit kisah memori masa kecil Maria.

Kali ini Coelho berusaha untuk keluar dari kebiasaanya untuk menulis tentang pencarian jati diri para tokohnya dengan segala jatuh bangun yang dibangun Coelho untuk para tokoh novelnya. Coelho berusaha membahas tentang topik-topik yang tabu...topik tentang persetubuhan, tentang sadomasokis dalam seks, tentang bagian tubuh perempuan yang bernama klitoris.

Pada halaman-halaman awal Coelho memperingatkan pembacanya dengan kata-kata seperti berikut :
... Akan tetapi pada waktu itu saya merasa cemas, sebab saya tahu novel baru saya, Eleven Minutes, bercerita tentang topik yang keras, sulit, mengejutkan...
... Ada buku-buku yang membuat kita bermimpi, ada pula yang menghadapkan kita pada realitas...

Maka aku mempersiapkan diriku untuk menghadapi kisah kelam dan penuh onak duri seorang pelacur yang gelap. Walaupun aku tahu karya-karya Coelho yang pernah kubaca sebelumnya seperti menikmati croissant yang kelihatan mengkel dan merangsang liur tampilannya tapi ndak bikin kenyang. Dengan kata pengantar seperti diatas maka aku berharap karya Coelho kali ini akan lebih seperti tempe yang gemuk ginuk-ginuk, berpenampilan biasa tapi mengenyangkan.

Tapi setelah selesai membacanya dalam waktu 3 hari ternyata apa yang dijanjikan oleh Coelho tidak aku dapatkan...kisah yang ditawarkan oleh Coelho masih seperti kisah-kisah pendahulunya...lebih berasa Croissant daripada Tempe...

Coelho masih berkutat dengan kisah `pencarian jati diri` dengan tumpahan nasehat dan petuah-petuahnya. Di Novel ini kehidupan Pelacuran dijabarkan seakan-akan sebagai sebuah profesi yang enak (mungkin bagi sebagian orang memang), legal dan lazim seperti profesi-profesi kantoran lainnya. Kisah kelam penuh perjuangan tidak aku dapatkan di Novel ini. Aku mengharapkan kegelapan Dave Pelzer yang dibalut dengan cahaya Mith Albom tapi yang aku dapatkan adalah gula-gula Harlequin.

Tidak etis memang membandingkan satu penulis dengan penulis yang lain, karena tiap penulis tentu punya style-nya masing2kan? tapi ketika membaca halaman awal yang dijanjikan Coelho adalah campuran antara Dave Pelzer, Mitch Albom dan Haruki Murakami. Tapi sesampainya aku pada halaman terakhir...aku tidak menemukan mereka...yang kutemukan memang tetap Paulo Coelho dengan gula-gulanya.

Satu yang agak mengganjal dibuku ini adalah..tokoh Maria yang awalnya dijabarkan tidak lulus SMA tapi malah bisa menguasai bahasa Perancis yang sudah masyur dengan cengkok-cengkoknya yang susah dalam waktu tidak sampai satu tahun. Bahkan bisa membaca buku-buku berat seperti psikologi, hukum dan sejarah...terlalu spektakuler bagiku.


Aku membaca 5 karya Paulo Coelho di empat kota yang berbeda...
The Alchemist aku baca waktu masih di Jogja.
Veronica Decides to Die, aku baca waktu baru saja merambah kota Jakarta.
Zahir, di kota Bagansiapiapi
The Devil and Miss Prym, kembali aku baca di Jogja
dan...
Terakhir adalah Eleven Minutes di Toyohashi, hasil penculikan dari punya si Kura-kura.

Dari ke lima karya Coelho tersebut hanya Veronica Decides to Die yang cukup bisa membuat aku terkesan.

Tapi bukan berarti novel Eleven minutes ini tidak layak dibaca, sangat layak baca khususnya bagi yang sudah lelah dalam mencari cinta...di novel ini, anda akan mendapati cinta adalah satu-satunya hal yang paling layak dicari...
maka...selamat mencari cinta

Toyohashi, awal musim semi

Salam
Yulibean

Denias, Senandung di Atas Awan


Denias, Senandung di Atas Awan
Film

Ini bukan review tapi hanya sekedar membuang-buang ludah

Terus terang saya paling malas nonton film indonesia. Bukan...bukan saya mengagung-agungkan film-film luar negeri (baca Hollywood) ataupun tidak menghargai hasil karya anak bangsa. Hanya saja...hanya saja...malas saja...malas dengan tema-tema dan cerita yang lebih menjurus kepada pembodohan nalar dan pendangkalan pikiran.

Contoh film Indonesia yang kalau ditonton bakal menurunkan kadar intelegensia kita (yang kata salah satu web pereview film indonesia bahkan marmut yang dipotong buntutnya dan di siram air panas saja bisa bikin film yang lebih bagus)...film dengan judul tali pocong perawan atau Genderuwo yang dikasih rating kancut x 1000 nanah oleh salah satu pereview kita (saya lupa alamat web-nya).

Terus terang dulu saya pecinta sinetron Indonesia semacam Losmen, Rumah masa depan (masih ingat banget dengan Mak wok), Jendela rumah kita (Dede Yusuf masih muda banget, aku masih inget dengan salah satu episodenya yang menggangkat tema tentang para pemahat patung di Borobudur). Dan tentu saja saya senang dan menanti-nanti film-filmnya warkop yang mengumbar cewek2 sexy nan bahenol tiap tahun menjelang lebaran atau ikut mengantri tiket film barunya Rhoma Irama.

Tapi sejak jatuhnya film indonesia dan munculnya film2 dengan tema esek-esek seperti bergulat dibawah ranjang (eh ada ga ya film dengan judul ini hehe), darah perawan, gadis metropolis...dll. saya menjadi sangat malas ke gedung bioskop dan menghabiskan uang jajan saya yang tidak seberapa untuk menonton film yang bisa membuat mata saya belekan seminggu. Film Indonesia yang terakhir saya tonton adalah Janji Joni (lumayan bagus) dan Ungu Violet (visualnya bagus...tapi isinya aku ga ngerti). itupun bukan di gedung bioskop.

Beberapa malam yang lalu, malam sebelum saya terusir dari kamar saya di International House, saya harus menarik lidah dan kata-kata saya selama ini kalau orang Indonesia sudah tidak becus lagi bikin film. Malam itu hampir semua barang2 saya sudah dipak dan hanya tinggal TV dengan DVD player saja yang masih kelihatan bentuk aslinya. Saking bosannya saya malam itu, saya lalau pergi ke kamar teman saya dari Padang untuk merampok adakah dia punya film. Ternyata dia membawa satu film dari indonesa bertitle Denias, Senandung di Atas Awan....arrrggghhhhhh....ya udahlah daripada tidak ada yang ditonton.

Film Denias ini pernah saya liat posternya tahun lalu di Jogja. terus terang saya agak-agak mules liat poster filmnya yang kayak poster iklan layanan masyarakat jaman orba ini apalagi ditempeli stempel sponsor salah satu produsen minuman kebugaran kolesom.

Dengan rasa malas yang amat sangat, saya pasang film itu di player....eng ing eng...
Gambar pertama muncul...sebuah adegan upacara suku pemasangan koteka di Papua...hmm lumayan keren, pikirku. lalu visual-visual yang membuat mulut saya ternganga sebesar 30 cm (berlebihan kali ya hehe) terus berdatangan...

Setelah film berakhir, saya masih terkagum-kagum dan tidak percaya kalau ternyata kita bisa bikin film yang bagus. Secara visual sangat mengagumkan, secara ide cerita cukup keren walaupun di sana-sini terasa berlompat-lompatan. Lagu-lagunya juga sangat bagus, Joke-jokenya juga kena.

Saya angkat jempol untuk John de rantau dan teman-teman yang berhasil membuat saya terkagum-kagum. Film ini sangat layak ditonton bagi mereka yang meragukan sinema Indonesia. Menurut kabar juga film ini sempat masuk kedalam seleksi nominasi Oscar untuk film berbahasa asing tahun 2008.

Untuk sinopsis bisa baca di wikipedia :
http://id.wikipedia.org/wiki/Denias,_Senandung_di_Atas_Awan
gambar juga diambil dari situs Wikipedia

Salam
Yulibean

South of the Border, West of the Sun, kisah cinta yang absurd


SOUTH OF THE BORDER, WEST OF THE SUN

Haruki Murakami

Diterbitkan dalam bahasa Jepang tahun 1992 Kodansha Ltd, Tokyo.

Diterjemahkan dalam bahasa Inggris tahun 1998.

Oleh Philip Gabriel

Vintage U.K. Random House, 2003

187 halaman



Pretend you’re happy when you’re blue. It isn’t very hard to do…

-Pretend, Nat King Cole-

Cinta? Apakah cinta itu? Apa arti kesetiaan?

Mungkin itu yang mau ditanyakan oleh Haruki Murakami di dalam novelnya yang ditulis tahun 1992, South of the Border, West of the Sun (judul asli Kokkyo no Minami, Taiyo no Nishi). Dibandingkan dengan novel-novel lainnya seperti Norwegian Wood dan Kafka on the Shore, novel ini bisa dibilang cukup tipis. Tema yang diangkat juga agak berbeda dengan kedua novel Murakami yang sudah aku baca. Tema tentang keluarga dan kesetiaan. Tetapi jangan menghakimi dulu novel ini sebagai novel roman percintaan picisan, anda akan kecewa bila mengira begitu. Seperti biasa Murakami selalu menggangkat cerita dari sudut pandang yang lain. Sudut pandang yang sepi kalau boleh aku menamakannya. Walaupun mengangkat tema cinta pertama yang kembali lagi dan pengkhianatan. Cerita novel ini bukan cerita novel-novel Harlequin yang mengumbar warna-warni dan harumnya cinta. Novel ini mengangkat tentang kepahitan cinta dan bagaimana cinta bisa merusak seseorang begitu beratnya sampai kita sukar percaya hal itu bisa terjadi.

Hajime adalah seorang pengusaha yang mengelola 2 buah jazz bar yang sukses dan berusia 30an akhir. Dia juga seorang ayah dengan dua putri beristrikan seorang wanita yang setia. Selama tujuh tahun sejak menikah, Hajime tidak pernah mengeluh, hidupnya bisa dibilang sempurna. Hingga suatu hari seorang wanita cantik bernama Shimamoto , cinta pertamanya ketika berusia 12 tahun muncul kembali begitu saja dihadapannya. Semua kenangan yang selalu hadir di di sela-sela mimpinya meluap kembali. Hajime harus memilih antara cinta keluarganya dengan ketidakpastian cinta pertamanya.

Sepintas mungkin kita akan mengira ceritanya klise dengan plot bak sinetron Indonesia tapi novel ini bukanlah untuk penggemar telenovela yang mengharu biru. Tidak ada adegan yang menghangatkan hati atau membuat hati kita berbunga-bunga ataupun menitikkan air mata haru. Walaupun ada beberapa adegan sensual khas Haruki Murakami, tetapi tidak sebanyak novel-novelnya yang lain. Bahkan bisa dikatakan novel ini membuat kita bertanya-nyata apa arti hidup, apa arti cinta itu sebenarnya dan apa arti kesetian bagi seorang lelaki, bagi seorang wanita.

South of the Border adalah sebuah judul lagu Jazz yang dinyanyikan oleh Nat King Cole. Seperti biasa Haruki Murakami senang sekali memberi judul novelnya dengan judul lagu-lagu. Entah itu lagu klasik, lagu pop maupun lagu Jazz. Novelnya selalu bertaburan dengan judul-judul lagu disertai celotehnya terhadap lagu itu. Kalau Norwegian Wood bertaburan dengan lagu-lagu Beatles, Kafka on the Shore bertaburan dengan lagu-lagu klasik, dan The Wind-up Bird Chronicle bernuansa lagu-lagu pop maka South of the Border bertaburan dengan lagu-lagu Jazz.

Sedangkan West of the Sun adalah gejala hysteria yang dialami oleh petani-petani di Siberia yang tiap hari selama hidupya menjalani rutinitas dan menjadi gila (hysteria siberiana). Histeria ini disebabkan oleh pekerjaan mereka sebagai petani yang sangat rutin di daerah yang termasuk daerah paling kejam di bumi. Dimana sepanjang mata memandang yang ada hanya kekosongan dan pemandangan garis Horizon. Di antara kekosongan ini, tiap hari para petani menggarap lahannya tanpa ada tujuan lain. Sepanjang hari sepanjang tahun selama hidup mereka. Hingga suatu hari ada sesuatu di bagian relung jiwa mereka yang jatuh dan mati. Saat itulah mereka kehilangan kesadaran mereka atas eksistensi diri. Mereka akan berjalan tanpa henti tanpa sadar kearah barat, kearah matahari tenggelam, mencari pembebasan jiwa . Sampai mereka akhirnya kelelahan dan bila tidak ada yang menolong maka hanya kematian yang akan mereka temui. Sendirian di sepinya dunia dingin Siberia.

Roman tentang cinta yang dibalut dengan surealisme gelap khas Murakami membuat novel ini sangat menarik untuk diikuti. Akhir ceritanya mungkin akan terasa menggantung tetapi itu memang ciri khas Murakami yang selalu mengakhiri novelnya dengan tanda tanya besar untuk pembacanya. Seakan-akan dia ingin berkata “hei, inilah hidup…tidak ada yang namanya akhirnya mereka hidup bahagia selama-lamanya”. Tidak akan ada akhir, selalu akan ada pertanyaan-pertanyaan baru.

Bagiku membaca Murakami adalah seperti berjalan menyusuri lorong jalan sepi yang panjang sehabis hujan. Sekali-kali akan ada gang yang membuat kita penasaran untuk mengintip tetapi tidak sampai membuat kita cukup penasaran untuk keluar dari lorong utama. Membaca Murakami adalah membaca cerita hidup kita masing-masing.

Toyohashi, 08 November 2007

Salam

Yulibean

Glonggong, ketika perang mencabik bangsa


Glonggong


Oleh : Junaedi Setiyono
Penerbit : Serambi
Penyunting : Imam Muhtarom
Penyerasi : Navisa Rahmani
Pewajah Isi : Siti Qomariah
Tahun : 2007,
293 halaman
Fiksi-sejarah


“hari itu Ahad 28 Maret 1830. Aku hanya bisa memandang dari jauh roda kereta yang berderak dan kaki kuda yang berlari berderap, membawa pergi Kanjeng Sultan Ngabdulkamid…”

Dilatari oleh peristiwa yang merubah arah sejarah tanah Jawa, novel ini bergulir…

Perang Jawa atau perang Diponegoro atau Java Oorlog yang berlangsung selama 5 tahun antara tahun 1825-1830 telah menorehkan banyak kesan di benak orang-orang yang mencoba menyimaknya, termasuk saya.

Di dalam sejarah 350 tahun pendudukan Belanda terdapat 3 Perang besar yang membuat pusing “Perusahaan Belanda di Hindia” ini. Tiga perang itu adalah Perang Jawa, Perang Aceh (Perang Padri) dan Perang Bali. Diantara ketiga perang besar itu, perang Jawa-lah yang bisa dibilang paling dahsyat. Walaupun ‘hanya’ berlangsung 5 tahun, perang Jawa telah menghabiskan kurang lebih 8000 jiwa orang Eropa, 7000 jiwa Pribumi yang ada di pihak Belanda dan lebih dari 200.000 jiwa orang Jawa (diperkirakan penduduk seluruh Hindia-Belanda waktu itu baru tujuh juta orang. Bisa dikira-kira kalau penduduk Yogyakarta tinggal separuhnya waktu itu). Sekurang-kurangnya dua puluh juta gulden dihabiskan untuk membiayai perang ini (jumlah yang tidak sedikit waktu itu dan hampir membangkrutkan Belanda di Hindia).

Novel pemenang sayembara novel 2006 Dewan Kesenian Jakarta karya Junaedi Setiyono ini patut diberi dua jempol dan ucapan Bravo!!. Cerita yang mengalir tidak terjebak menjadi kisah-kisah tentang para pendekar ahli kanuragan yang sakti mandraguna penuh sihir dan mantra, yang biasa dijadikan bumbu dalam kisah-kisah berlatar sejarah.Ini kisah tentang den Glonggong, seorang raden berdarah kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang terpaksa harus hidup penuh onak dan duri demi mencari jati dirinya, seru dan mengharukan.

Novel ini bukanlah novel tentang Pangeran Dipanegara sang “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirulmukmina Kalifatul Rasululah Hamengkubuwono Senapati Ingalaga Sabilulah ing Tanah Jawi”, sebuah gelar yang membuat para bangsawan kesultanan Yogyakarta dan Pihak Belanda merasa gerah. Novel ini bercerita tentang seorang anak laki-laki yang tercabut dari lingkungan darah biru-nya dan akhirnya berusaha untuk mengabdi kepada seorang Pangeran yang diharapkan bisa menjadi ‘Ratu Adil’ bagi tanah Jawa yang tercabik oleh angkara murka. Berbagai kejadian dialami Glonggong dalam perjalanannya. Dikhianati oleh guru, junjungan dan sahabat-sahabatnya. Bertemu dengan wanita-wanita yang akan menuntun jalannya. Berhadapan dengan lawan-lawan yang termasuk didalamnya adalah kakak kandung dan ayah tirinya sampai akhirnya melihat dengan perasaan tercabik ketika sang Pangeran ditangkap oleh Belanda dengan cara yang tidak ksatria.

Perang Jawa yang menjadi latar belakang novel ini di awali ketika pihak Belanda dengan sepihak mematok untuk membuat jalan tembus yang melewati rumah pangeran Dipanegara di Tegalrejo. Pangeran Dipanegara terpaksa mengungsi ke Selarong bersama pengikut-pengikutnya termasuk Kyai Modjo, guru dan sekaligus panglima perangnya. Peristiwa ini digambarkan sekilas di Novel ini, ketika Glonggong baru pulang dari upaya mencari keberadaan kakak perempuannya. Akan tetapi sebelum Perang Jawa pecah, keadaan di tanah Jawa memang sudah carut marut dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan kraton. Beban pajak yang aneh-aneh menghimpit rakyat jelata seperti pajak tanah, pacumpleng (pajak pintu), kerigaji, pangawang-awang (pajak halaman), wilah welit (pajak sawah), pajongket, pajak bekti, pajak tol. Bahkan seorang penjahat yang tertangkap dapat dilepaskan dengan alasan melarikan diri bila bisa membayar uang kepada penguasa. Tidak beda dengan keadaan kita sekarang bukan? Maka tidak aneh bila timbul kerinduan terhadap sang ‘Ratu Adil’ yang bisa melepaskan rakyat jelata dari keserakahan para pejabat eh bangsawan.

Membaca Novel Glonggong ini saya teringat akan kisah yang mirip tetapi berbeda tentang seorang pendekar samurai Jepang paling terkenal, Miyamoto Musashi (Miyamoto Musashi adalah tokoh nyata yang dibuat novelnya oleh Eiji Yoshikawa yang juga membuat buku tentang sepak terjang panglima perang paling terkenal di Jepang, Oda Nobunaga, “Taiko”). Seperti halnya Glonggong yang suka menggunakan glonggong atau batang daun pohon pepaya yang terbuat dari kayu sebagai senjata. Musashi juga lebih suka menggunakan pedang kayu dari pada pedang besi. Musashi juga seorang anak yang berdarah biru yang terbuang dari lingkungannya, mengembara mencari jalan pedang. Berangasan pada awalnya tetapi menjadi ‘sensei’ atau empu di bidang Zen, prinsipnya adalah belajar mengekang diri bukan melukai atau membunuh. Buku karangannya yang paling terkenal adalah The Book of Five Rings. Aaah jadi melantur..hahahaha.

Di tahun 1830 Perang Jawa usai sudah dan pihak kesultanan Yogyakarta dibantu oleh Belanda keluar menjadi pemenangnya. 64 tahun kemudian atau sekitar tahun 1894 terbitlah buku De Java Oorlog : 1825-1830 yang terdiri 6 jilid. Setiap jilidnya lebih dari 700 halaman. Buku yang menghabiskan 15 tahun penyusunan ini disusun oleh dua kapten infanteri Tentara Hindia Belanda, P.J.F. Louw dan E.S. de Klerck. Sampai sekarang tidak satu jilidpun buku-buku tersebut yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, bukti ketidakpedulian akan sejarah bangsa ini?.

Bila anda ingin mengetahui sedikit lebih banyak tentang Perang Jawa yang melatari Novel ini silahkan baca :

Swantoro, Polycarpus, Dari Buku ke Buku : Sambung menyambung menjadi satu. (Jakarta, KPG dan Rumah Budaya TeMBI, 2002).

Lombard, Denys, Nusa Jawa : Silang Budaya. (Jakarta, Gramedia, Forum Jakarta-Paris dan EFEO, 2005).


NB : gambar nyulik dari sitenya mas Qyu di http://qyus.multiply.com/reviews/item/7

Salam
Yulibean

Desersi, sebuah petualangan rimba raya negeri kita


DESERSI : Menembus Rimba Raya Kalimantan

fiksi-petualangan

Judul Asli : Borneo van Zuid naar Noord, Ran Away from the Dutch or Borneo from South to North.
Oleh : M.T.H. Perelaer
Penerjemah : Helius Sjamsuddin
Penyunting : Candra Gautama
Perancang Sampul : Wendie Artswenda
Penata Letak : Wendie Artswenda
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Oktober 2006
Xiv + 286 hlm; 14 cm x 21 cm

Kolonel yang mulia dan terhormat. Kami kiranya sudah berada jauh sekali ketika surat ini Anda baca…”

-Surat Yohanes kepada Kolonel Hindia Belanda di Borneo (Kalimantan)-

Empat orang serdadu Hindia Belanda dinyatakan hilang ketika apel sore di sebuah benteng pertahanan Belanda di tengah-tengah belantara Kalimantan. Dua Swiss, satu Belgia, dan satu Indo-pribumi.

Schlickeisen, orang Swiss, kelahiran Steinbach, wilayah bagian Glarus, usia 21 tahun. Anak seorang pendeta
Wienersdorf, orang Swiss, kelahiran Winterthur, wilayah bagian Zurich, usia 23 tahun. Anak seorang guru besar ilmu alam.
La Cueille “der Wallon”, orang Belgia, kelahiran Cheratte, Provinsi Liege, usia 26 tahun. Anak seorang buruh tambang batu bara di Jupille.
Yohanes, orang Indo-pribumi, kelahiran Padang, Sumatera, usia 30 tahun. Ayah tidak diketahui, Ibu orang Nias.

Empat orang biasa yang akan ditakdirkan untuk mengalami petualangan terhebat sepanjang hidup mereka di belantara Kalimantan yang ganas di penghujung abad 19.

Disulut oleh ketidak puasan Schickeisen dan Wienersdorf yang merasa di bohongi ketika ditawari pekerjaan sebagai serdadu di Hindia Belanda. Maka keduanya sepakat untuk melarikan diri, desersi kembali ke pangkuan ibu pertiwi, negeri Swiss. Yohanes yang juga tidak puas dengan perlakuan pemerintah Hindia Belanda turut bergabung dengan mengajak seorang “pemabuk tua”, si orang Wallon, Le Cueille.

Maka terkumpullah 4 orang serdadu yang sebentar lagi akan menjadi mantan serdadu, para desersi, orang-orang yang dijadikan buruan.

Ide jitu yang ditawarkan oleh Yohanes akhirnya membawa mereka berhasil melarikan diri dari benteng, suatu tindakan yang sangat sempurna kalau tidak dikacaukan oleh si pemabuk La Cueille yang berteriak memaki disaat terakhir mereka melewati gerbang. Kacaulah semua siasat Yohanes yang segera menjadi pemimpin para desersi ini. Siasat yang seharusnya membawa mereka ke laut lepas Pasifik dan Singapura, menjadi perjalanan menyusuri rimba raya kalimantan yang ganas.

Dengan terpaksa ke empat petualang Eropa dan 3 orang Dayak mengubah rencana mereka. Menyusuri sungai Kalimantan menuju negeri para pengayau (pemenggal kepala) diikuti oleh sepasukan pimpinan sang Kolonel Belanda yang bersumpah untuk membawa mereka kembali, hidup maupun mati.

Segera perjalanan mereka melarikan diri menjadi sebuah petualangan hidup dan mati. Dari belakang sepasukan serdadu Hindia Belanda yang terlatih dipimpin oleh sang Kolonel sendiri dengan dibantu oleh Temenggung Nikodemus Jaya Negara, seorang raja Dayak yang disegani mengejar dengan persenjataan lengkap. Dari depan adalah para Dayak pengayau, penduduk asli pulau kalimantan yang menganggap pemenggalan kepala adalah seni, isi kepala manusia adalah makanan lezat dan batok kepala adalah souvenir berharga, apalagi batok kepala orang kulit putih.

Menyamar sebagai orang Dayak dengan membalur tubuh putih mereka dengan suatu zat pohon yang berwarna coklat perunggu. Petualangan membawa mereka bertarung dengan ular piton boa konstriktor dan para buaya yang semuanya berukuran raksasa. Mengalami perang dengan orang Dayak asli yang sangat ganas dan menyelamatkan beberapa desa dari penyerangan bangsa liar menjadikan mereka para Conquetadores abad 19. Bahkan petualangan membawa mereka menjadi saudara kepala suku Punan, suku Dayak pengayau yang paling ganas, Harimau Rimba.

Bersama-sama dengan Harimau Rimba, ke-empat petualang Eropa yang menyamar sebagai orang Dayak ini merasakan bagaimana kejamnya perang antar suku di pedalaman Kalimantan dan serakahnya pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dalam mengeruk dan memperbudak kekayaan alam Kalimantan.

Selama 70 hari, petualangan demi petualangan dialami mereka, baik yang lucu, seru, mengharukan, menyeramkan, serta hampir merengut nyawa mereka.

Sebagai seorang Belanda yang berprofesi sebagai serdadu dan pegawai Hindia Belanda di Kuala Kapuas, Kalimantan, Michael Theophile Hubert (M.T.H) Perelaer (1831-1901) pengarang buku ini cukup obyektif dalam memandang pendudukan Kolonial Belanda atas pulau Kalimantan. Dia tidak melulu mencela suku Dayak yang ganas dan kejam tetapi juga mengkritik pemerintah Kolonial Belanda. Suatu tindakan yang cukup berani mengingat kedudukannya sebagai opsir Belanda kala itu. Buku ini adalah salah satu karya Perelaer selain sebuah buku yang membahas tentang adat-istiadat Dayak dalam Etnographische Beschrijving der Dajaks (1870) dan sebuah novel roman kategori opiumroman (mungkin maksudnya roman yang memabukkan), Baboe Dalima.

Sedikir berbeda dengan karya besar Karl May tentang nusantara yang mengambil latar Aceh, “Damai di Bumi” (diterbitkan oleh KPG). Karya M.T.H Perelaer ini lebih terasa mengalir, menegangkan, dan secara historis cukup akurat. Karya Karl May walaupun sangat menarik dan menawan tapi terkadang tidak akurat secara historis dan terasa terlalu romantis dalam memandang situasi dengan bahasanya yang mengawang-awang. Sedangkan karya Perelaer ini walaupun fiksi tapi sangat tepat dalam penggambar keadaan alam, tokoh (beberapa tokoh yang dimunculkan benar-benar tokoh historis yang pernah hidup), adat istiadat dan istilah-istilah. Ini dimungkinkan karena Perelaer adalah seorang pengamat dan antropolog yang berdedikasi selain sebagi seorang opsir Belanda. Bahkan dalam novel ini dijabarkan tentang kenapa Kalimantan suka disebut orang Eropa dengan nama Borneo dan bagaimana adat pemenggalan kepala dilakukan.

Seperti yang diakui oleh Helius Sjamsuddin, penerjemah novel ini yang juga pernah menyusun disertasi mengenai keadaan di Kalimantan Selatan dan Kalimanatan Tengah di tahun 1859-1906, “Memang novel ini tidak persis menggambarkan budaya maupun kehidupan sosial-politik masyarakat Dayak masa itu, karena tidak dimaksudkan sebagai tulisan sejarah, namun lukisannya tentang alam dan rimba raya Kalimantan beserta isinya benar-benar prima…”.

Lalu bagaimana akhir petualangan mereka, berhasilkah mereka keluar dari kejaran para serdadu Belanda dan kepungan para pemenggal kepala? Untuk itu saya sarankan anda untuk membaca sendiri novel yang seru dan menakjubkan ini. Saya yakin kalau anda menyukai petualangan, maka buku ini akan membawa anda bertualang ke rimba Kalimantan yang ganas.

“Semoga Tuhan menuntun mereka! Mereka orang-orang yang gagah berani.”

- Yohanes kepada sahabat-sahabatnya -

Dracula, mahkluk kegelapan yang tak lekang dimakan jaman


DRACULA
Pengarang : Abraham Stoker
Alih Bahasa : Ny. Suwarni A.S
Desain dan ilustrasi sampul : Satya Utama Jadi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Mei 2007
528 hlm; 20 cm

“Bibirnya berlumuran darah segar yang menetes dari sudut-sudut mulutnya, dan mengalir ke dagu dan lehernya”


Siapakah mahkluk jahat paling berjaya dan terkenal sepanjang masa? Dengan tidak ragu saya akan menjawab ‘Dracula’, mahkluk yang paling haus darah, jahat, dan mengerikan sepanjang sejarah buku dan film mengalahkan Frankenstein-nya Mary Shelly (diterjemahkan dan diterbitkan Gramedia di tahun 1995) dan Dr. Jekyl/Mr. Hyde-nya Louis Stevenson . Siapa yang tidak kenal dengan count Dracula? Bahkan ketika saya masih SD di tahun 80an dan di desa kecil bernama Pedan pun ‘nama besar’ Dracula sudah bisa bikin saya dan teman-teman tidak bisa tidur tenang di malam hari.

Dracula adalah mahkluk yang paling banyak di adaptasikan ke berbagai media. Kembali ke jaman saya masih SD, ada semacam permainan kartu yang dicetak sebesar kertas Folio yang isinya gambar-gambar komik sequen kecil-kecil bernomor. Nah saya mengenal Dracula dari kartu-kartu itu karena selain Dracula tidak ada mahkluk ‘impor’ lain yang dijadikan komik kartu itu. Yang ikut bersaing adalah kuntilanak Suzzana, Jerangkong hidup musuh Brama Kumbara dari serial radio, dan pocongan.

Jujur saja, siapa yang tidak mengenal Dracula? Saya yakin nenek-nenekpun tau yang namanya Dracula. Tapi tanyakan siapa yang ‘menciptakan’ Dracula? Saya yakin tidak semua orang tahu. Mungkin kalau tidak ada bantuan film yang dibesut oleh Sutradara legendaris Francis Ford Coppola di tahun 1992, “Bram Stoker’s : Dracula”. Nama Bram (Abraham) Stroker akan tenggelam di telan nama besar mahkluk ciptaannya ‘Dracula’. Tapi saya mengetahui Bram Stoker bukan dari film ini, tapi dari film serial horor ‘Friday the 13th’ di TVRI tahun 80an. Ada sebuah episodenya yang (kalau tidak salah ingat) menceritakan bagaimana Bram Stoker mendapatkan ide untuk mengarang buku ini di tahun 1890.

Cerita dimulai dari goresan pena Jonathan Harker, seorang agen real estate Inggris di buku hariannya yang menceritakan tentang perjalanannya mengunjungi seorang klien di Transylvania, sebuah negara kecil di Eropa Timur yang dingin kepada tunangannya Wilhelmina "Mina" Murray.

Di dalam perjalanan menuju Transylvania, Jonathan mulai merasa ada keanehan karena bertemu dengan warga lokal yang sering berusaha mencegahnya pergi ke Puri kepunyaan Count Dracula, sang klien. Bahkan dia diberi sebuah kalung salib oleh seorang ibu ketika dia mampir untuk makan, yang dikemudian hari akan menyelamatkan jiwanya.

Keanehan perjalanannya semakin terasa ketika dia sampai ke puri kepunyaan Count Dracula. Sepi seakan-akan tidak ada kehidupan membuat puri tersebut semakin menyeramkan. Di Puri inilah Jonathan akhirnya bertemu dengan kliennya sang Count. “tangan itu dingin seperti es-bukan seperti tangan orang hidup, melainkan seperti tangan orang mati. Dahinya tinggi, rambutnya lebat, tapi pada pelipisnya tipis. Alisnya tebal sekali, mulutnya kaku dihiasi kumis tebal dan tampak kejam. Giginya berbentuk aneh, tajam dan putih, dan menjorok keluar dari bibirnya. Wajahnya pucat seperti orang mati tapi bibirnya merah dan segar sekali. Seyumnya jahat dan bisa membuat Yudas di neraka tetawa bangga”, itulah sebagian ciri-ciri Count Dracula yang di gambarkan oleh Harker di buku hariannya.

Jonathan Harker terjebak di puri sang Count selama berbulan-bulan, hampir dihisap darahnya baik oleh sang Dracula sendiri maupun oleh para ‘pengantinnya’ yang berjumlah 3 orang wanita cantik. Sementara itu Tunangannya, Mina yang berada di London sedang gundah gulana karena tidak ada kabar dari Harker. Bersama temannya Lucy, dia menghabiskan waktu dengan bergosip dan mengasah kemampuan mengetiknya.

Suatu hari, ada sebuah kapal misterius ‘demeter’ melabuh di pelabuhan kota. Kapal itu tidak berawak dan hanya terdapat jasad kaptennya yang tangannya terikat dikemudi kapal dengan rosario salib. Satu-satunya mahkluk yang mendarat adalah seekor anjing besar yang lalu lari menghilang ke perkuburan umum.

Lucy, sahabat Mina suatu hari berjalan dalam tidur menuju perkuburan umum dan sejak saat itu dia terlihat lemas dan kekurangan darah dengan tanda dua buah titik kecil berdarah di lehernya. Melihat semakin hari Lucy semakin lemah, Arthur Holmwood, tunangan Lucy meminta bantuan Dr. John Seward untuk menyembuhkannya. Dr. John Seward lalu meminta bantuan mentornya Dr. Abraham Van Helsing. Van Helsing yang menyadari kejahatan Nosferatu atau Vampir lalu melakukan transfusi darah kepada Lucy. Empat laki-laki termasuk seorang koboi dari Amerika, Quincey Morris akhirnya menyumbangkan darahnya kepada Lucy. Ada suatu ironi yang lucu mengenai masalah tranfusi darah ini, yang lalu diceritakan oleh Van Helsing ketika akhirnya mereka tidak bisa menyelamatkan nyawa Lucy.

Sejak kematian Lucy lalu disusul dengan tindakan ‘pengamanan’ terhadap jasad Lucy di perkuburan keluarga, ke-empat laki-laki perberani nan sensitif (karena banyak adegan menangis), Arthur Holmwood, Dr. John Seward, Dr. Abraham Van Helsing, dan Quincey Morris bersumpah untuk memburu dan membunuh sumber malapetaka ini. Bekerja sama dengan Jonathan Harker yang berhasil lolos dari puri Count Dracula dan Wilhelmina "Mina" Murray mereka melacak keberadaan Count Dracula dan memojokkannya sampai kembali ke purinya di Transylvania.

Novel ini berwujud kumpulan buku harian, catatan, dan rekaman pengalaman para tokoh utamanya, bagi sebagian orang mungkin agak tidak terlalu suka model penceritaan seperti ini karena seperti membaca buku harian orang lain dan saya termasuk salah satunya. Berlebih mungkin dikarang pada jaman Victoria, bahasanya terkadang terdengar agak mendayu-dayu karena bertabur dengan adegan-adegan melankolis. Tapi itu tidak mengurangi ketegangan isi ceritanya. Bagi yang suka dengan novel-novel horor, buku ini bisa dimasukan ke dalam daftar belanja, terlebih karena daya pikat teramat besar dari sampulnya yang bagus (saya salah satunya yang terpikat karena sampulnya hehehehe).

“Yah, John, dunia ini memang aneh, sedih, penuh dengan kesengsaraan, duka cita, dan kesulitan. Namun bila sang Raja Tawa datang, semuanya tunduk di bawah kehendaknya.”

- Abraham Van Helsing -

Salam
Yulibean